Wednesday, November 14, 2018

Adab bangun tidur

ADAB BANGUN TIDUR
Subhaanim Allah! Sulthaanim Allah!
Nabim Muhammad, Alayhi Salam!
_______
Ucapkan kata-kata ini.  Segera setelah kalian membuka mata kalian (ketika bagun tidur), lakukan thaharah (bersuci), lalu berdiri dan katakan, "Aku berdiri dalam Hadirat Nabi ﷺ dan mengikuti Imam yang mulia yang hadir di sini!"  dan katakan pada diri kalian juga, "Aku mengikuti Imam."  Siapa yang menjadi Imam?  Ia adalah seorang suci yang menerima cahaya sebagai pewaris dari Nabi Muhammad, Sultan dari semua Nabi ﷺ!  Katakan, "Aku berdiri dalam Hadirat yang Haqq dan mengikuti mereka!"  MasyaAllah, Setan tidak akan mampu menyentuh kalian.

~Mawlana Shaykh Nazim ❤️

Instagram.com/Mawlana.Shaykh.Nazim #Sufilive

Sunday, November 11, 2018

7 Permata

The jewel of Perfection) (7 times daily)

اللَّهُـمَّ صَـلِّ وَسَلِّـمْ عَـلَى عَيْـنِ الـرَّحْـمَـةِ الرَّبَّــانِـيَـةِ وَاليَاقُـوتَـةِ المُتَـحَقِّـقَـةِ الحَـائِطَةِ بِمَـرْكَزِ الفُـهُومِ والمَعَـانِي،
وَنُـورِ الأَكْـوَانِ المُتَـكَوِّنَـةِ الآدَمِـي صَـاحِبِ الحَـقِّ الـرَّبَّانِي، البَرْقِ الأَسْطَعِ بِمُزُونِ الأَرْبَاحِ المَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ البُحُورِ وَالأَوَانِي، وَنُـورِكَ اللاَّمِعِ الـذِي مَـلأْتَ بِهِ كَوْنَكَ الحَـائِطِ بِأَمْكِنَةِ المَـكَانِي،
اللَّهُـمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الحَقِّ التِي تَتَجَلَّى مِنْهَا عُرُوشُ الحَقَـائِقِ عَيْــنِ المَـعَارِفِ الأَقْـوَمِ صِـرَاطِـكَ التَّـــامِّ الأَسْـقَــمِ، اللَّهُـمَّ صَـلِّ وَسَلِّـمْ عَلَى طَلْعَةِ الحَـقِّ بَالحَـقِّ الكَـنْزِ الأَعْـظَمِ إِفَـاضَتِـكَ مِنْـكَ إِلَيْــكَ إِحَـاطَـةِ النُّـورِ المُطَــلْسَــمِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْـهِ وَعَـلَى آلِـهِ، صَـلاَةً تُعَرِّفُنَـا بِـهَا إِيَّـــاهُ

Allahumma salli wa sallim `alaa `ayni 'r-rahmati 'r-rabbaaniyati wa 'l yaaqootati 'l-mutahaqqiqati 'l-haaitati bi-markazi 'l-fuhoomi wa 'l-ma`anee. Wa noori 'l-akwaani 'l-mutakawwinati 'l-aadami sahibil haqqir-rabbani al barqil asta'i bi muzoonil arbahil maliati li kulli muta'arridhin min al-buhoori wa 'l-awaani. Wa noorika 'l-laami`u 'Lladhee malaata bihi kawnaka 'l-haa'iti bi-amkinati 'l-makaani.

Allahumma salli wa sallim `alaa `ayni 'l-haqq allatee tajalla minhaa `urooshu 'l-haqaaiqi `ayni 'l-ma`aarifi 'l aqwami siraatika 't-taami 'l- asqam.

Allahumma salli wa sallim `alaa tal`ati 'l-haqqi bil haqqi al-kanzil `azham. Ifaadatika minka ilayka ihaatati 'n-noori 'l-mutalsam. Sallallahu `alayhi wa `alaa aalihi salaatan tu`arrifunaa bihaa iyyaah.

If you read this salawat seven times a day or more, yuhibbahu mahabbatan khaasah wa laa yamootu illa waliyyan, Prophet  will love you with a special love and you will not leave dunya without being a wali. Whoever recites this salawaat is mentioning the highest names of Prophet , Allah  will open for him as He opened for His awliyaullah!

O Allah, send benediction upon and salute on the Essence of Divine Mercy, the Accomplished Ruby encompassing the center of comprehensions and meanings, the Light of all created universes, the Adamic who possesses Lordly Truth; the all-filling Lightning in the rain-clouds of gains that fill all the intervening seas and receptacles; Your Bright Light with which You have filled Your creation and which surrounds all possible places. O Allah,bless and salute the Essence of Truth from which are manifested the thrones of realities; the Essence of the Most Righteous Knowledge, Your Complete and Most Straight Path. O Allah, bless and salute the Advent of the Truth by the Truth; the Greatest Treasure, Your Outpouring from Yourself to Yourself; the Encompassment of Talismanic Light. May Allah bless the Prophet and his household, a prayer which brings us to knowledge of him.

Mawlana Shaykh Hisham Kabbani

Friday, November 9, 2018

Naqshbandi di jawa

Silsilah waliyulloh Mbah Hadi Girikusumo

KH. Muhammad Manshur, adalah pendiri Pondok Pesantren Popongan, Dusun Popongan, Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Mbah Manshur adalah putra Syaikh Muhammad Abdul Hadi Girikusumo, seorang mursyid Thariqah Naqsyabandiyah-Khalidiyah di Girikusumo, Mranggen, Demak. Sumber-sumber Belanda menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad Abdul Hadi sebagai sosok religious leader(tokoh agama) yang sangat berpengaruh di Semarang.

Syaikh Muhammad Abdul Hadi adalah putra Thohir bin Shodiq Jago bin Ghozali (Klaten) bin Abu Wasijan (Medono, Pekalongan) bin Abdul Karim (Paesan, Batang) bin Abdurrasyid (Batang) bin Saifudin Tsani (Kyai Ageng Pandanaran II Semarang) bin Saifudin Awwal (Kyai Ageng Pandanaran I, Sunan Tembayat Klaten).

Syaikh Muhammad Abdul Hadi, yang dikenal dengan panggilan Mbah Hadi Girikusumo, memiliki peran besar dalam dakwah Islam, khususnya dalam mengembangkan Thariqah Naqsyabandiyah. Jaringan Thariqah Naqsyabandiyah yang dipelopori oleh Mbah Hadi Girikusumo berkembang sampai se-antero Jawa Tengah dan Yogyakarta melalui para murid spiritualnya, yang jumlahnya lebih dari seratus ribu orang. Mbah Hadi mendirikan pondok pesantren Girikusumo pada tanggal 16 Rabiul Awwal 1288 H atau 1866 M. Sebelumnya, Mbah Hadi belajar agama dan Thariqah Naqsyabandiyah kepada Syaikh Sulaiman Zuhdi di Makkah al-Mukarramah. Di Girikusumo, Mbah Hadi sering juga dipanggil Mbah Giri, Mbah Hasan Muhibat, dan Kyai Giri.

Girikusumo adalah nama sebuah desa. Giri (bhs. jawa) berarti gunung, dan kusumo (bhs. jawa) berarti bunga.  Ponpes Giri didirikan oleh Syaikh Muhammad Hadi pada tahun 1288 H bertepatan dengan tahun 1866 M. Mbah Hadi memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan dan dakwah Islam. Hal ini dibuktikan dengan mengirim putra-putranya untuk nyantri di luar daerah.

Mbah Hadi mempunyai tiga putra, yaitu; Manshur, Sirajuddin dan Zahid, ketiga putranya tersebut menjadi guru Thariqah Naqsyabandiyah. Mbah Sirajuddin dan Mbah Zahid mengembangkan thariqah di Girikusumo, meneruskan tugas spiritual Mbah Hadi, sedangkan Mbah Manshur mengembangkan thariqah di Karesidenan Surakarta. Selain kedua putranya, tokoh yang memiliki peran besar dalam pengembangan Thariqah Naqsyabandiyah adalah Mbah Arwani Amin Kudus dan Mbah Abdul Mi’raj Candisari Semarang.

Kepemimpinan pesantren di Girikusumo dipegang oleh Mbah Hadi sendiri, sedangkan para santri muda diasuh oleh Mbah Sirajuddin, sedangkan Mbah Manshur ditugaskan ayahnya untuk meneruskan perjuangannya di daerah Karesidenan Surakarta. Akan tetapi, umur Mbah Sirajuddin  pendek, dan ia wafat mendahului ayahandanya. Mbah Hadi meninggal dunia pada tahun 1931, dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok pesantren diteruskan oleh putranya, yaitu adik kandung Mbah Sirojuddin, yaitu Mbah Zahid.

Mbah Manshur PoponganBerdasarkan cerita yang berkembang. pada prosesi pemakaman Mbah Hadi, terjadi sebuah fenomena khariqul ‘adah (aneh, luar biasa), yakni ada batu besar yang berada di dekat calon makam Mbah Hadi. Seluruh pelayat termasuk para kyai tidak mampu menyingkirkan batu tersebut. Setelah Mbah Manshur datang, batu tersebut bisa diangkat oleh Mbah Manshur sendiri. Itulah salah satukaromah yang dimiliki Mbah Manshur.

Mbah Manshur mengaji kepada orang tuanya sendiri, yaitu Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo. Ketika remaja, beliau mengaji dan nyantri di Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta yang diasuh oleh Kyai Idris, sebuah pesantren tua yang pendiriannya dipelopori oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Mbah Manshur muda kemudian mendirikan pesantren di Dusun Popongan, Klaten, 20 km. dari Jamsaren Surakarta.

Kedatangan Mbah Manshur di Popongan bukan sebuah kebetulan. Sebelum ke Popongan, Klaten, Mbah Manshur sengaja dikirim oleh Mbah Hadi untuk belajar di Jamsaren, dan dalam perkembangannya menemukan Popongan sebagai tempat dakwah, pendidikan, dan pengembangan Islam.

Para santri dan sesepuh Dusun Popongan menceritakan bahwa kedatangan Mbah Manshur di Popongan bermula ketika Mbah Manshur muda diambil menantu oleh seorang petani kaya di Popongan yang bernama H. Fadlil. Mbah Manshur muda dinikahkan dengan Nyai Maryam (Nyai Kamilah) binti H. Fadlil pada tahun 1918. Karena Mbah Manshur merupakan alumni pondok pesantren, maka H. Fadlil memintanya mengajarkan agama di Popongan. Dari pernikahan itu melahirkan Masyfufah, Imro’ah, Muyassaroh, Muhibbin, Muqarrabin, dan Irfan. Dari putrinya Nyai Mashfufah binti Mbah Manshur yang dinikah H. Mukri, lahirlah Salman Dahlawi, yang kelak meneruskan estafet kepemimpinan pesantren dan Thariqah Naqsyabandiyah.

Sebelum didirikan pondok pesantren, Mbah Manshur mengajar ngaji masyarakat Popongan. Para santri awal Mbah Manshur sangat sedikit, dan hanya membentuk halaqah kecil. Setelah beberapa tahun kemudian santri yang datang mulai banyak dan dari berbagai daerah sehingga H. Fadlil berinisiatif untuk mendirikan bangunan yang layak untuk pemondokan dan masjid.

Pembangunan pondok pesantren dan masjid dilakukan secara swasembada dan gotong royong. Batu fondasi diperoleh oleh para santri dari sungai jebol, sebuah sungai yang terletak di sebelah selatan Dusun Popongan. Adapun pasir diambil dari sungai tegalgondo, sebelah utara Dusun Popongan.

Sebagai tokoh yang kaya, H. Fadlil sendiri yang banyak menyumbang pendirian pesantren yang kelak diasuh oleh menantunya tersebut. Mbah Kyai Muslimin, menceritakan bahwa pembangunan pesantren dilakukan secara gotong royong, sebagian memang mengambil tukang profesional. Pondok Pesantren Popongan resmi didirikan oleh Mbah Manshur pada tahun 1926. Pada tahun yang sama, Mbah Manshur membangun Masjid Popongan.

Pondok Pesantren Popongan, pada masa kepemimpinan cucunya, Kyai Salman Dahlawi, tanggal 21 Juni 1980, namanya diubah menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan. Dusun Popongan kemudian menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam, di samping menjadi pusat suluk Thariqah Naqsyabandiyah.

Jaringan Thariqah Mbah Manshur dikembangkan dari Mbah Hadi dengan silsilah sebagai berikut: Kyai Manshur, dari Syekh Muhammad Hadi Bin Muhammad Thohir, dari Syaikh Sulaiman Zuhdi, dari Syaikh Ismail al-Barusi, dari Syaikh Sulaiman al-Quraini, dari Syaikh ad-Dahlawi, dari Syaikh Habibullah, dari Syaikh Nur Muhammad al-Badwani, dari Syaikh Syaifudin, dari Syaikh Muhammad Ma’shum, dari Syaikh Ahmad al-Faruqi, dari Syaikh Ahmad al-Baqi’ Billah, dari Syaikh Muhammad al-Khawaliji, dari Syaikh Darwisy Muhammad, dari Syaikh Muhammad az-Zuhdi, dari Syaikh Ya’kub al-Jarkhi, dari Syaikh Muhammad Bin Alaudin al-Athour, dari Syaikh Muhammad Bahaudin an-Naqsabandy, dari Syaikh Amir Khulal, dari Syaikh Muhammad Baba as-Syamsi, dari Syaikh Ali ar-Rumaitini, dari Syaikh Mahmud al-Injiri Faqhnawi, dari Syaikh Arif Riwikari, dari Syaikh Abdul Kholiq al-Ghajwani, dari Syaikh Yusuf al-Hamadani, dari Syaikh Abi Ali Fadhal, dari Syaikh Abu Hasan al-Kharwani, dari Syaikh Abu Yazid Thaifur al-Busthoni, dari Syaikh Ja’far Shodiq, dari Syaikh Qosim Muhammad, dari Syaikh Sayyid Salman al-Farisi, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad saw.

Mbah Hadi mengangkat Mbah Manshur dan Mbah Zahid sebagai mursyid thariqah. Dari Kyai Zahid, thariqah berkembang di Pantai Utara Jawa, diteruskan oleh Kyai Zuhri, dilanjutkan oleh Kyai Munif. Adapun Mbah Manshur menyebarkan thariqah melalui para badal (murid kepercayaan), di antaranya ada yang sudah menjadi mursyid,yaitu Mbah Arwani Amin (Kudus) yang dilanjutkan oleh Kyai Ulinnuha Arwani, Mbah Salman Dahlawi Popongan (Klaten) yang dilanjutkan oleh Gus Multazam, dan Mbah Abdul Mi’raj (Candisari Semarang) yang dilanjutkan oleh Kyai Khalil.

Selain dikembangkan oleh paramursyid yang menjadi murid Mbah Manshur, thariqah Naqsyabandiyah juga dikembangkan di Kauman Surakarta oleh seorang murid perempuan Mbah Manshur, yaitu Nyai Muharromah (Nyai Soelomo Resoatmodjo). Selain di Popongan, Mbah Manshur juga mendirikan pusat latihan spiritual Thariqah Naqsyabandiyah di Kauman Surakarta. Sejak Mbah Manshur memiliki rumah di Kauman Surakarta, maka Thariqah Naqsyabandiyah juga berkembang di kota santri tersebut. Rumah Mbah Manshur di Kauman tersebut dibangun oleh muridnya yang bernama Muslimin dan dibantu oleh Salman muda, cucu kesayangan Mbah Manshur. Mbah Muslimin inilah yang sejak awal sudah menjadi penderek(pengikut) Mbah Manshur, dan menjadi teman karib Kyai Salman, sejak kecil sampai wafatnya.

Di Popongan sendiri, estafet kepemimpinan pondok pesantren dan Thariqah Naqsyabandiyah dipegang oleh Kyai Salman, cucunya. Para putera-puteri Mbah Manshur tidak ada yang melanjutkan estafet kepemimpinan thariqah, tetapi lebih suka menekuni dunia perdagangan, mengikuti jejak kakeknya, Mbah H. Fadlil.

Dalam mengembangkan jaringan Thariqah Naqsyabandiyah, Mbah Manshur dibantu oleh santrinya yaitu Mbah Arwani Amin (Kudus) dan Mbah Abdul Mi’raj (Candisari, Semarang). Di Popongan, Mbah Manshur dibantu oleh banyak santri dan jama’ahnya dalam mengembangkan Islam dan jaringan Thariqah Naqsyabandiyah.

Mbah Manshur termasuk Kyai sepuh yang disegani, bukan saja oleh para santri dan jama’ahnya, tetapi juga oleh masyarakat umum, bahkan oleh para sejawatnya dari kalangan Kyai. Setelah pondok pesantren berdiri, Mbah Manshur bukan saja kedatangan tamu yang mau mengaji saja, tetapi juga tamu-tamu umum yang bermaksud bersilaturrahmi dan ngalap berkah. Kharisma Mbah Mansur pun semakin meningkat dan menjadi Kyai populer di kalangan masyarakat Klaten, Surakarta, Semarang, Jawa Tengah pada umumnya, dan Yogyakarta.

Kyai Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krayak Yogyakarta, adalah termasuk murid Mbah Manshur di Yogyakarta. Walaupun tidak menjadi mursyidthariqah, Kyai Munawwir menjadi bagian penting dalam perjuangan Mbah Manshur. Ketika Kyai Munawwir meninggal tahun 1942, Mbah Manshur menghadiri acara ta’ziyah dan menjadi imam shalat jenazah.

Mbah Manshur juga menjalin hubungan baik dengan Mbah Siroj, Panularan Surakarta, dan Mbah Ahmad Umar bin Abdul Mannan Mangkuyudan Surakarta. Kedekatan dengan Kyai Ahmad Umar ditunjukkan dengan pemberian nama Al-Muayyad oleh Mbah Manshur untuk nama pondok pesantren di Mangkuyudan yang dirintis Mbah Kyai Abdul Mannan pada tahun 1930. Al-Muayyad berarti yang dikuatkan, artinya bahwa pondok pesantren tersebut dikuatkan oleh kaum muslimin di Surakarta dan sekitarnya.

Mbah Manshur wafat tahun 1955. Setiap tahun Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan dan Bani Manshur mengadakan acara haul yang dihadiri oleh ribuan orang. Setelah Mbah Manshur wafat, estafet kepemimpinan pesantren dan thariqah dipegang oleh cucunya, Mbah Salman Dahlawi, sampai sekarang kepemimpinan dipegang oleh Gus Multazam bin Salman Dahlawi. Dan Kyai Nasrun Minallah sebagai sesepuh pondok Al Manshur.

Menurut informasi dari banyak sumber, Mbah Manshur menyusun lafaz do’a bagi para santri sebelum membaca Al-Qur’an. Lafaz do’a itu dipasang di Madrasah (sebutan salah satu gedung pengajian di Pondok Pesantren Al-Manshur, tepat di depan Ndalem yang ditinggali Mbah Manshur). Lafaz doa tersebut menjadi karakter khas bacaan bagi santri-santri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan sampai deweasa ini.

Lafaz tersebut berbunyi:

Allahumma bil haqqi anzaltahu wa bil haqqi nazal

Allahumma Adzdzim rughbatii fiih

Waj’alhu nuuran li bashorii

Wasyifaa’an li shodrii

Wadzahaban lihammii wa huznii

Allahumma zayyin bihii lisaanii

Wajammil bihii wajhii

Waqawwi bihii jasadii Watsaqqil bihii miizaani

Waqawwinii ‘alaa thaa’atika wa athraafan nahaar

Setiap santri Al-Manshur Popongan mesti hafal do’a tersebut, karena doa karya Mbah Manshur itu selalu dibaca sebelum mengaji Al-Qur’an, baik pengajian Al-Qur’an setelah shalat Maghrib, Subuh, maupun Dhuhur.

Diantara santri atau murid Thariqah Naqsyabandiyah-Khalidiyah Mbah Manshur banyak yang masyhur atau dikenal sebagai seorang waliyullah, seperti ; Mbah Munawwir (Krapyak, Yogyakarta), Mbah Arwani Amin (Kudus), Mbah Abdul Mi’raj (Candisari, Semarang), Mbah Umar Abdul Mannan (Mangkuyudan, Surakarta), Mbah Salman Dahlawi (Popongan, Klaten), Mbah Ru’yat (Kaliwungu, Kendal) dan lain-lain

Wallahu A’lamKH. Muhammad Manshur, adalah pendiri Pondok Pesantren Popongan, Dusun Popongan, Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Mbah Manshur adalah putra Syaikh Muhammad Abdul Hadi Girikusumo, seorang mursyid Thariqah Naqsyabandiyah-Khalidiyah di Girikusumo, Mranggen, Demak. Sumber-sumber Belanda menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad Abdul Hadi sebagai sosok religious leader(tokoh agama) yang sangat berpengaruh di Semarang.

Syaikh Muhammad Abdul Hadi adalah putra Thohir bin Shodiq Jago bin Ghozali (Klaten) bin Abu Wasijan (Medono, Pekalongan) bin Abdul Karim (Paesan, Batang) bin Abdurrasyid (Batang) bin Saifudin Tsani (Kyai Ageng Pandanaran II Semarang) bin Saifudin Awwal (Kyai Ageng Pandanaran I, Sunan Tembayat Klaten).

Syaikh Muhammad Abdul Hadi, yang dikenal dengan panggilan Mbah Hadi Girikusumo, memiliki peran besar dalam dakwah Islam, khususnya dalam mengembangkan Thariqah Naqsyabandiyah. Jaringan Thariqah Naqsyabandiyah yang dipelopori oleh Mbah Hadi Girikusumo berkembang sampai se-antero Jawa Tengah dan Yogyakarta melalui para murid spiritualnya, yang jumlahnya lebih dari seratus ribu orang. Mbah Hadi mendirikan pondok pesantren Girikusumo pada tanggal 16 Rabiul Awwal 1288 H atau 1866 M. Sebelumnya, Mbah Hadi belajar agama dan Thariqah Naqsyabandiyah kepada Syaikh Sulaiman Zuhdi di Makkah al-Mukarramah. Di Girikusumo, Mbah Hadi sering juga dipanggil Mbah Giri, Mbah Hasan Muhibat, dan Kyai Giri.

Girikusumo adalah nama sebuah desa. Giri (bhs. jawa) berarti gunung, dan kusumo (bhs. jawa) berarti bunga.  Ponpes Giri didirikan oleh Syaikh Muhammad Hadi pada tahun 1288 H bertepatan dengan tahun 1866 M. Mbah Hadi memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan dan dakwah Islam. Hal ini dibuktikan dengan mengirim putra-putranya untuk nyantri di luar daerah.

Mbah Hadi mempunyai tiga putra, yaitu; Manshur, Sirajuddin dan Zahid, ketiga putranya tersebut menjadi guru Thariqah Naqsyabandiyah. Mbah Sirajuddin dan Mbah Zahid mengembangkan thariqah di Girikusumo, meneruskan tugas spiritual Mbah Hadi, sedangkan Mbah Manshur mengembangkan thariqah di Karesidenan Surakarta. Selain kedua putranya, tokoh yang memiliki peran besar dalam pengembangan Thariqah Naqsyabandiyah adalah Mbah Arwani Amin Kudus dan Mbah Abdul Mi’raj Candisari Semarang.

Kepemimpinan pesantren di Girikusumo dipegang oleh Mbah Hadi sendiri, sedangkan para santri muda diasuh oleh Mbah Sirajuddin, sedangkan Mbah Manshur ditugaskan ayahnya untuk meneruskan perjuangannya di daerah Karesidenan Surakarta. Akan tetapi, umur Mbah Sirajuddin  pendek, dan ia wafat mendahului ayahandanya. Mbah Hadi meninggal dunia pada tahun 1931, dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok pesantren diteruskan oleh putranya, yaitu adik kandung Mbah Sirojuddin, yaitu Mbah Zahid.

Mbah Manshur PoponganBerdasarkan cerita yang berkembang. pada prosesi pemakaman Mbah Hadi, terjadi sebuah fenomena khariqul ‘adah (aneh, luar biasa), yakni ada batu besar yang berada di dekat calon makam Mbah Hadi. Seluruh pelayat termasuk para kyai tidak mampu menyingkirkan batu tersebut. Setelah Mbah Manshur datang, batu tersebut bisa diangkat oleh Mbah Manshur sendiri. Itulah salah satukaromah yang dimiliki Mbah Manshur.

Mbah Manshur mengaji kepada orang tuanya sendiri, yaitu Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo. Ketika remaja, beliau mengaji dan nyantri di Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta yang diasuh oleh Kyai Idris, sebuah pesantren tua yang pendiriannya dipelopori oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Mbah Manshur muda kemudian mendirikan pesantren di Dusun Popongan, Klaten, 20 km. dari Jamsaren Surakarta.

Kedatangan Mbah Manshur di Popongan bukan sebuah kebetulan. Sebelum ke Popongan, Klaten, Mbah Manshur sengaja dikirim oleh Mbah Hadi untuk belajar di Jamsaren, dan dalam perkembangannya menemukan Popongan sebagai tempat dakwah, pendidikan, dan pengembangan Islam.

Para santri dan sesepuh Dusun Popongan menceritakan bahwa kedatangan Mbah Manshur di Popongan bermula ketika Mbah Manshur muda diambil menantu oleh seorang petani kaya di Popongan yang bernama H. Fadlil. Mbah Manshur muda dinikahkan dengan Nyai Maryam (Nyai Kamilah) binti H. Fadlil pada tahun 1918. Karena Mbah Manshur merupakan alumni pondok pesantren, maka H. Fadlil memintanya mengajarkan agama di Popongan. Dari pernikahan itu melahirkan Masyfufah, Imro’ah, Muyassaroh, Muhibbin, Muqarrabin, dan Irfan. Dari putrinya Nyai Mashfufah binti Mbah Manshur yang dinikah H. Mukri, lahirlah Salman Dahlawi, yang kelak meneruskan estafet kepemimpinan pesantren dan Thariqah Naqsyabandiyah.

Sebelum didirikan pondok pesantren, Mbah Manshur mengajar ngaji masyarakat Popongan. Para santri awal Mbah Manshur sangat sedikit, dan hanya membentuk halaqah kecil. Setelah beberapa tahun kemudian santri yang datang mulai banyak dan dari berbagai daerah sehingga H. Fadlil berinisiatif untuk mendirikan bangunan yang layak untuk pemondokan dan masjid.

Pembangunan pondok pesantren dan masjid dilakukan secara swasembada dan gotong royong. Batu fondasi diperoleh oleh para santri dari sungai jebol, sebuah sungai yang terletak di sebelah selatan Dusun Popongan. Adapun pasir diambil dari sungai tegalgondo, sebelah utara Dusun Popongan.

Sebagai tokoh yang kaya, H. Fadlil sendiri yang banyak menyumbang pendirian pesantren yang kelak diasuh oleh menantunya tersebut. Mbah Kyai Muslimin, menceritakan bahwa pembangunan pesantren dilakukan secara gotong royong, sebagian memang mengambil tukang profesional. Pondok Pesantren Popongan resmi didirikan oleh Mbah Manshur pada tahun 1926. Pada tahun yang sama, Mbah Manshur membangun Masjid Popongan.

Pondok Pesantren Popongan, pada masa kepemimpinan cucunya, Kyai Salman Dahlawi, tanggal 21 Juni 1980, namanya diubah menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan. Dusun Popongan kemudian menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam, di samping menjadi pusat suluk Thariqah Naqsyabandiyah.

Jaringan Thariqah Mbah Manshur dikembangkan dari Mbah Hadi dengan silsilah sebagai berikut: Kyai Manshur, dari Syekh Muhammad Hadi Bin Muhammad Thohir, dari Syaikh Sulaiman Zuhdi, dari Syaikh Ismail al-Barusi, dari Syaikh Sulaiman al-Quraini, dari Syaikh ad-Dahlawi, dari Syaikh Habibullah, dari Syaikh Nur Muhammad al-Badwani, dari Syaikh Syaifudin, dari Syaikh Muhammad Ma’shum, dari Syaikh Ahmad al-Faruqi, dari Syaikh Ahmad al-Baqi’ Billah, dari Syaikh Muhammad al-Khawaliji, dari Syaikh Darwisy Muhammad, dari Syaikh Muhammad az-Zuhdi, dari Syaikh Ya’kub al-Jarkhi, dari Syaikh Muhammad Bin Alaudin al-Athour, dari Syaikh Muhammad Bahaudin an-Naqsabandy, dari Syaikh Amir Khulal, dari Syaikh Muhammad Baba as-Syamsi, dari Syaikh Ali ar-Rumaitini, dari Syaikh Mahmud al-Injiri Faqhnawi, dari Syaikh Arif Riwikari, dari Syaikh Abdul Kholiq al-Ghajwani, dari Syaikh Yusuf al-Hamadani, dari Syaikh Abi Ali Fadhal, dari Syaikh Abu Hasan al-Kharwani, dari Syaikh Abu Yazid Thaifur al-Busthoni, dari Syaikh Ja’far Shodiq, dari Syaikh Qosim Muhammad, dari Syaikh Sayyid Salman al-Farisi, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad saw.

Mbah Hadi mengangkat Mbah Manshur dan Mbah Zahid sebagai mursyid thariqah. Dari Kyai Zahid, thariqah berkembang di Pantai Utara Jawa, diteruskan oleh Kyai Zuhri, dilanjutkan oleh Kyai Munif. Adapun Mbah Manshur menyebarkan thariqah melalui para badal (murid kepercayaan), di antaranya ada yang sudah menjadi mursyid,yaitu Mbah Arwani Amin (Kudus) yang dilanjutkan oleh Kyai Ulinnuha Arwani, Mbah Salman Dahlawi Popongan (Klaten) yang dilanjutkan oleh Gus Multazam, dan Mbah Abdul Mi’raj (Candisari Semarang) yang dilanjutkan oleh Kyai Khalil.

Selain dikembangkan oleh paramursyid yang menjadi murid Mbah Manshur, thariqah Naqsyabandiyah juga dikembangkan di Kauman Surakarta oleh seorang murid perempuan Mbah Manshur, yaitu Nyai Muharromah (Nyai Soelomo Resoatmodjo). Selain di Popongan, Mbah Manshur juga mendirikan pusat latihan spiritual Thariqah Naqsyabandiyah di Kauman Surakarta. Sejak Mbah Manshur memiliki rumah di Kauman Surakarta, maka Thariqah Naqsyabandiyah juga berkembang di kota santri tersebut. Rumah Mbah Manshur di Kauman tersebut dibangun oleh muridnya yang bernama Muslimin dan dibantu oleh Salman muda, cucu kesayangan Mbah Manshur. Mbah Muslimin inilah yang sejak awal sudah menjadi penderek(pengikut) Mbah Manshur, dan menjadi teman karib Kyai Salman, sejak kecil sampai wafatnya.

Di Popongan sendiri, estafet kepemimpinan pondok pesantren dan Thariqah Naqsyabandiyah dipegang oleh Kyai Salman, cucunya. Para putera-puteri Mbah Manshur tidak ada yang melanjutkan estafet kepemimpinan thariqah, tetapi lebih suka menekuni dunia perdagangan, mengikuti jejak kakeknya, Mbah H. Fadlil.

Dalam mengembangkan jaringan Thariqah Naqsyabandiyah, Mbah Manshur dibantu oleh santrinya yaitu Mbah Arwani Amin (Kudus) dan Mbah Abdul Mi’raj (Candisari, Semarang). Di Popongan, Mbah Manshur dibantu oleh banyak santri dan jama’ahnya dalam mengembangkan Islam dan jaringan Thariqah Naqsyabandiyah.

Mbah Manshur termasuk Kyai sepuh yang disegani, bukan saja oleh para santri dan jama’ahnya, tetapi juga oleh masyarakat umum, bahkan oleh para sejawatnya dari kalangan Kyai. Setelah pondok pesantren berdiri, Mbah Manshur bukan saja kedatangan tamu yang mau mengaji saja, tetapi juga tamu-tamu umum yang bermaksud bersilaturrahmi dan ngalap berkah. Kharisma Mbah Mansur pun semakin meningkat dan menjadi Kyai populer di kalangan masyarakat Klaten, Surakarta, Semarang, Jawa Tengah pada umumnya, dan Yogyakarta.

Kyai Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krayak Yogyakarta, adalah termasuk murid Mbah Manshur di Yogyakarta. Walaupun tidak menjadi mursyidthariqah, Kyai Munawwir menjadi bagian penting dalam perjuangan Mbah Manshur. Ketika Kyai Munawwir meninggal tahun 1942, Mbah Manshur menghadiri acara ta’ziyah dan menjadi imam shalat jenazah.

Mbah Manshur juga menjalin hubungan baik dengan Mbah Siroj, Panularan Surakarta, dan Mbah Ahmad Umar bin Abdul Mannan Mangkuyudan Surakarta. Kedekatan dengan Kyai Ahmad Umar ditunjukkan dengan pemberian nama Al-Muayyad oleh Mbah Manshur untuk nama pondok pesantren di Mangkuyudan yang dirintis Mbah Kyai Abdul Mannan pada tahun 1930. Al-Muayyad berarti yang dikuatkan, artinya bahwa pondok pesantren tersebut dikuatkan oleh kaum muslimin di Surakarta dan sekitarnya.

Mbah Manshur wafat tahun 1955. Setiap tahun Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan dan Bani Manshur mengadakan acara haul yang dihadiri oleh ribuan orang. Setelah Mbah Manshur wafat, estafet kepemimpinan pesantren dan thariqah dipegang oleh cucunya, Mbah Salman Dahlawi, sampai sekarang kepemimpinan dipegang oleh Gus Multazam bin Salman Dahlawi. Dan Kyai Nasrun Minallah sebagai sesepuh pondok Al Manshur.

Menurut informasi dari banyak sumber, Mbah Manshur menyusun lafaz do’a bagi para santri sebelum membaca Al-Qur’an. Lafaz do’a itu dipasang di Madrasah (sebutan salah satu gedung pengajian di Pondok Pesantren Al-Manshur, tepat di depan Ndalem yang ditinggali Mbah Manshur). Lafaz doa tersebut menjadi karakter khas bacaan bagi santri-santri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan sampai deweasa ini.

Lafaz tersebut berbunyi:

Allahumma bil haqqi anzaltahu wa bil haqqi nazal

Allahumma Adzdzim rughbatii fiih

Waj’alhu nuuran li bashorii

Wasyifaa’an li shodrii

Wadzahaban lihammii wa huznii

Allahumma zayyin bihii lisaanii

Wajammil bihii wajhii

Waqawwi bihii jasadii Watsaqqil bihii miizaani

Waqawwinii ‘alaa thaa’atika wa athraafan nahaar

Setiap santri Al-Manshur Popongan mesti hafal do’a tersebut, karena doa karya Mbah Manshur itu selalu dibaca sebelum mengaji Al-Qur’an, baik pengajian Al-Qur’an setelah shalat Maghrib, Subuh, maupun Dhuhur.

Diantara santri atau murid Thariqah Naqsyabandiyah-Khalidiyah Mbah Manshur banyak yang masyhur atau dikenal sebagai seorang waliyullah, seperti ; Mbah Munawwir (Krapyak, Yogyakarta), Mbah Arwani Amin (Kudus), Mbah Abdul Mi’raj (Candisari, Semarang), Mbah Umar Abdul Mannan (Mangkuyudan, Surakarta), Mbah Salman Dahlawi (Popongan, Klaten), Mbah Ru’yat (Kaliwungu, Kendal) dan lain-lain

Wallahu A’lam

Wednesday, November 7, 2018

Barrier

Mawlana Grandsheikh *Abdullah faizid ad-Dagestani* qs tells about his migration with his Sheikh Grandsheikh Sharafuddin qs from Dagestan to Turkey: "Everyone in the village began to prepare for the emigration. We moved from Daghestan to Turkey on a trip that was full of difficulties caused both by the Russian soldiers and by highwaymen who killed without the slightest provocation.

Near the border with Turkey, we were travelling through a forest which was known to be filled with Russian soldiers. It was Fajr time. My uncle said, ‘We will pray Fajr and then we will cross the forest.’ We prayed Fajr and began moving. Then Shaykh Sharafuddin said to everyone, ‘Stop!’ He asked for a cup of water. Someone handed him a cup of water and he read on it from Chapter Ya Sin (ayat 9): ‘ _And We have set a barrier in front of them and a barrier behind them, and We have enshrouded them in veils so that they cannot see.’_ Then he read
*Fallahu khairul hafidhan wa Huwa arhamur-Rahimeen* ,

_Allah is the best protector, and He is the Most Merciful of those who show mercy. [12:64]_

As he was reading these verses, everyone felt something come to their hearts, and I saw all the emigrants trembling. Allah gave me a vision at that moment so that I could see that we were surrounded by the Russian Army on every side. I saw that they were shooting at anything that moved, even a bird. Then I saw that we were passing by and that we were safe. We were crossing the forest and they heard no sound of our footsteps or our animals, until we arrived safely at the other side of the border.

The vision ended as Shaykh Sharafuddin (KS) finished reading. He cast the water ahead of us and he said, ‘Move now! But don’t look behind.’ As we moved on, we could see the Russian soldiers on every side, yet it was as if we were invisible. We moved for 20 miles through that forest. It took us from morning until after `Isha prayers. We did not stop except to pray and we were invisible to everyone. We heard the Russian army shooting at people, birds, animals, and anything that moved. But we passed undetected and unscathed. We were the only people who were safe. We exited the forest and crossed over into Turkey.

We travelled first to Bursa, where Shaykh Sharafuddin (KS) established his home for one year. After that he moved to a place called Rashadiyya, where he established a village for Daghestani emigrants. It was located thirty miles from Yalova, which is on the Marmara Coast, around fifty miles from Bursa and about 60 miles from Adapazar. There he built the only mosque in that village, and next to it he built his own house. Everyone busied themselves with building their houses. My father and mother built a house adjacent to the house of Shaykh Sharafuddin (KS)."

Saturday, November 3, 2018

Doa utk keluar dark kesedihan


Divine Weapons Against Sadness and Depression
Mawlana Shaykh Hisham Kabbani
3 January 2012 Singapore
`Isha Suhbah at Simply Islam

(Final Event of Far East Tour, Winter 2011)

A`oodhu billahi min ash-Shaytaani 'r-rajeem. Bismillahi 'r-Rahmaani 'r-Raheem.

Nawaytu 'l-arba`een, nawaytu 'l-`itikaaf, nawaytu 'l-khalwah, nawaytu 'l-`uzlah,

nawaytu 'r-riyaadah, nawaytu 's-sulook, lillahi ta`ala fee haadha 'l-masjid.

There is a saying, “You must not make the busy one busier.” It has many meanings, one of which is important to us: “Don’t make the attention of the one busy remembering Allah (swt) go somewhere else; don’t bother him.” Similarly, it also applies to people who are busy with their families and trying to provide for them: don't make them busier. So I hope we are not keeping you busy and giving you a lecture until midnight!

Prophet (s) said:

Kalimataan habeebataan ila ‘r-Rahman khafeefataan `ala ’l-lisaan thaqeelataan fi ‘l-meezaan, subhaanAllah wa bihamdihi subhaanAllahi ‘l-`Azheem astaghfirullah. “There are two words (sentences) that are very light on the tongue, but very heavy on the Scale.” They are better than all academic lectures given from the beginning to the end which, all compiled, are not worthy of these two words of Allah (swt): subhaanAllah wa bihamdihi subhaanAllahi ‘l-`Azheem astaghfirullah.

A`oodhu billahi min ash-Shaytani r-rajeem. Bismillahi ‘r-Rahmani ‘r-Raheem. Madad yaa Sayyidee. Prophet (s) said these two sentences are far better than what any lecturer around the world can say in their speeches. They are very light on the tongue and very heavy on the Scale on the Day of Judgment. If you add up all your deeds, even all the deeds of Bani Adam from beginning to end, to recite “SubhaanAllah wa bihamdihi subhaanAllahi ‘l-`Azheem astaghfirullah” is still heavier on the Scale. So what do you want better in this dunya? Allah (swt) gave these two sentences for us to be happy, just as we also say, Rabbana atina fi 'd-dunya hasanatan, “O our Lord! Give us goodness in this life.” (2:201) Allah (swt) gave you that goodness, so take it! If you want to be successful, say these two sentences.

Prophet (s) also said, “If you say these four words, you will be saved and enter Paradise,” and the four words are in the Qur’an: SubhaanAllah, alhamdulillah, laa ilaaha illa-Llah, and Allahu Akbar. These four words will make humans feel they are doing something, although they are not worthy to be doing something, but Allah (swt) is making it easy for us. That's why a man came to Prophet (s) and said, “Yaa Rasoolullah! It is too difficult to keep all these rules of Islam; give me something easy.” He (s) said, “Keep your tongue moist with the remembrance of Allah,” meaning loud dhikr, not silent, because for silent dhikr you don’t use your tongue. In Naqshbandi Tariqah, “Dhikr al-Khafi” means you keep your tongue on your palate, not moving your tongue, but making (silent) dhikr in your heart. But in this hadith it says, “Make your tongue wet with dhikrullah.” How to keep it wet? You keep it moving and it makes a sound, that is “Dhikr al-Jahri.”

Allah (swt) gave Ummat an-Nabi (s) things to do that are for the Prophet (s), and that is to say, “Alam nashrah laka sadrak,” as Allah (swt) said to Prophet (s) in Surat ash-Sharh, “Why are you sad, yaa Muhammad?” It means, “O People, why are you sad?”Allah (swt) is saying to the Prophet (s), “I don't like to see you sad, so I have expanded your chest to make you happy; I'm giving you something to make you and your whole ummah very happy!” It means, “Am I not giving you that expansion of the chest to be happy?” Be happy! Don't think too much, because thinking too much makes you sad. People who think too much about a problem become depressed, and they either blow up from anger or go into a corner so no one can talk to them. No! Enjoy Allah's mercy, not at a disco, but in His mercy.

Allah (swt) said in the Holy Qur’an:

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Qul bifadlillahi wa bi-rahmatihi fa-bidhaalika fa ‘l-yafrahoo huwa khayrum mimmaa yajma`oon.

Say, "In the bounty of Allah and in His mercy, in that let them rejoice; it is better than what they accumulate." (Yunus, 10:58)

He is saying, “You must be happy in Allah’s favor and mercy!” Awliyaa and `ulama say that rahmah is Muhammad (s). So whenever you have a sad moment in your life, recite seven times Surat Alam Nashrah (Surat ash-Sharh) on water and drink it every day; that depression will go away and you will be healed from that sadness. One tear of a Muslim for Allah (swt) and His Prophet (s), and if you zoom in and go deeper, it means specifically the tear of a mu'min, is more valuable than the whole dunya, because Allah doesn't like to see His servant who loves Him and His Prophet (s) to be sad.

Sayyidina Ibraheem (a) was thrown in the fire by Nimrod and he didn't become sad. Sayyidina Jibreel (a) asked him, “Do you need help?” and Sayyidina Ibraheem said, “I don't need your help. The One Who sent me here knows what is happening.” So Allah made the fire “bardan wa salaaman,” cool and safe for Ibraheem, not bone-chilling cold or unbearable, as Allah (swt) doesn't like the heart of His believer, His lover, who is praying, fasting, giving sadaqa and reciting dhikr, to be sad during his life.

Look at how mush sadness was in Prophet’s life, how much he was tortured and the Sahaabah (r) were tortured in front of him (s) and he could not do anything! Is it true that he couldn’t? No, he could have done something, but Allah (swt) is teaching us through the Prophet (s) to be patient. The Prophet (s) was tested with everything, but he was patient as he was given from the Divine Attributes of “ar-Ra`uf,” The Most Kind, and “ar-Raheem,” the Most Merciful:

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

Laqad jaa-akum rasoolun min anfusikum `azeezun `alayhi maa `anittum hareesun `alaykum bil-mu’mineena ra’ufun raheem.

Indeed, there has come to you a Messenger from among yourselves. He grieves for your suffering and is anxious about you. To the believers he is most kind and merciful. (at-Tawbah, 9:128)

He received more, but in this ayah alone there are two. So be happy! This life isn't worth it if it makes you sad. Shaytan plays with people to make them sad and unhappy and to make all those around them unhappy.

Shaykh Hisham Kabbani

*Untuk Kalangan Sendiri